A.
‘Am
‘Am
dalam
pengertian kebahasaan berarti menyeluruh.
Dalam pandangan Ulama Ushul Fiqih, yang dimaksud dengan istilah ‘Am adalah kata yang memuat seluruh
bagian dari kandungan lafazh, sesuai dengan pengertian kebahasaan tanpa
pengecualian oleh kata lain[1]. ‘Am
adalah lafaz
yang menghabiskan atau mencakup segala apa yang pantas baginya tanpa ada
pembatasan[2]. Para
ulama membagi ‘Am menjadi tiga
kategori, yaitu:
1. Al-‘Am
al-Istighraqy
Yakni
yang mencakup segala sesuatu yang dapat dicakupnya tanpa kecuali, sehingga
semua disentuh olehnya. Misalnya, ketentuan tentang kewajiban wanita yang
bercerai untuk melaksanakan ‘iddah (masa
tunggu) selama tiga quru’
(suci/haid). Ketentuan ini berlaku untuk segala jenis perceraian, kecuali jika
ada petunjuk lain yang mengecualikan salah satu bentuknya. Contoh lain misalnya
kata an-Nas/manusia dalam firman
Allah SWT:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ
لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ٢١
Artinya:
“Wahai (seluruh) manusia, sembahlah
Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu
bertakwa (terhindar dari aneka bencana).” (QS. al-Baqarah: 21)
2. Al-‘Am
al-Majmu’iy
Yakni
yang tidak mencakup keseluruhan bagian-bagiannya satu demi satu, tetapi secara
umum saja. Misalnya kewajiban mempercayai nabi-nabi yang diutus Allah. Jumlah
mereka banyak, namun dua puluh lima nabi yang disebut nama-namanya dalam
al-Qur’an sudah dinilai cukup mewakili seluruh nabi yang banyak sekali itu.
3. Al-‘Am
al-Badaly
Yakni
yang diwakili oleh seorang saja dari anggota yang dicakup oleh lafazh itu.
Misalnya, perintah untuk bernafkah kepada fakir miskin. Memberi seorang saja
dari siapa pun yang berstatus fakir miskin, sudah cukup.[3]
B.
Bentuk Lafadz ‘Amm
Ulama ushul
merinci perangkat bahasa yang dapat disimpulkan sebagai memiliki makna umum,
dan mereka membatasinya sebagai berikut:
1.
Kata “kullu”, apakah ia menjadi permulaan
kalimat ataupun muncul sebagai keterangan.
2.
Semua kata
penghubung, asma’ al-maushul (relative pronoun)
3.
Kata ayy, ma, dan man (mana/apa/siapa saja), baik sebagai kata syarat, kata tanya,
maupun sebagai kata penghubung.
4.
Kata jama’ yang di-ma’rifat-kan, baik dengan memakai partikel alif-lam (al...) ataupun
dengan kasus idhafah (possessive)
5.
Kata benda
kategorial (isim jins) yang di-ma’rifat-kan baik dengan kasus idhafah maupun dengan partikel alif-lam (al...)
6.
Kata benda tak
tertentu (indefinite/nakirah) dalam
konteks larangan, negasi, dan syarat (kondisional) dan dalam konteks pemberian
anugerah.
“’Amm adalah
kata yang mencakup semua makna yang terkait tanpa batas. Di antara kata amm adalah bentuk kata kullu (setiap/seluruh) di permulaan
kalimat seperti ‘setiap yang ada di atas bumi akan musnah’, atau sebagai
keterangan, seperti ‘maka malaikat seluruhnya bersujud’, dan kata alladzi, allati, serta bentuk dua (tsaniyyah), dan plural (jama’)-nya, seperti: “dan, yang berkata
kepada kedua orangtuanya: enyahlah kamu!”, sebab maksudnya adalah siapa saja
yang mengeluarkan kata-kata seperti itu berdasarkan firman-Nya yang muncul
setelahnya: ‘mereka itulah orang-orang yang berhak mendapat siksa’, dan
‘orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka adalah penghuni surga’, dan
‘orang-orang yang berbuat baik akan mendapatkan kebaikan dan tambahan’, dan
‘orang-orang yang bertaqwa di sisi Tuhan berhak mendapatkan surga-surga’, dan
‘wanita-wanita yang telah suci dari haid...’, dan ‘wanita-wanita
(isteri-isteri)-mu yang melakukan hal yang keji maka buatlah kesaksian...’, dan
‘mereka berdua yang mendatanginya di antara kamu, kemudian mereka menyakiti
keduanya’.
Az-Zarkasyi menambahkan, dalam kaitannya dengan kata
nakirah yang bermakna umum, selain
konteks kalimat negatif dan larangan, konteks kalimat pertanyaan seperti dalam
firman-Nya: hal ta’lamu lahu samiyya.
Di tempat lain ia menambahkan gejala hadzf
(pembuangan), khususnya pembuangan objek (maf’ul bih) di mana kata kerja transitif diperlakukan sebagai kata
kerja intransitif untuk menunjukkan sifat keumumannya.[4]
Untuk lebih
memperjelas penjelasan di atas, berikut diberikan contoh-contoh yang jelas
dalam bentuk-bentuk lafadz ‘Am, yaitu:
1.
Lafadz kullun dan
jami’un seperti firman Allah dalam
surat Ali Imran: 185 dan surat al-Baqarah: 29.
كُلُّ
نَفۡسٖ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan
mati.”
هُوَ
ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا
Artinya: “Dialah
Allah, yang menjadikan segala yang ada
di bumi untuk kamu”.
2.
Isim-isim yang berfungsi sebagai penyambung
(al-maushulah), seperti al-ladzi,
al-latii, al-ladziina, al-laatii, dan dzuu.
Contohnya seperti firman Allah dalam surat An-Nisa: 10.
إِنَّ
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا
يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ نَارٗاۖ
Artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak
yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya”.
3.
Lafadz ma dan
man yang mendapat jaminan balasan,
seperti tersebut dalam firman Allah surat al-Baqarah: 272, dan surat An-Nisa:
123.
وَمَا
تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ يُوَفَّ إِلَيۡكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تُظۡلَمُونَ ٢٧٢
Artinya: “Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan (di jalan allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan
janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah.
Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya
dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan)”.
مَن
يَعۡمَلۡ سُوٓءٗا يُجۡزَ بِهِۦ
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan,
niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu”.
4.
Lafadz ayyun yang
terdapat dalam suatu kalimat yang bersifat syarat (syarth). Seperti firman Allah dalam surat al-Isra’: 110.
أَيّٗا
مَّا تَدۡعُواْ فَلَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ
Artinya: “Dengan nama yang mana saja kamu seru,
Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik)”.
5.
Isim yang berbentuk jamak yang diawali alif dan lam. Seperti dalam firman Allah surat al-Maidah: 42.
إِنَّ
ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٤٢
Artinya: “Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang adil”.
6.
Isim yang dinisbatkan (mudhaf), seperti firman Allah
dalam surat Ibrahim: 34.
وَإِن
تَعُدُّواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحۡصُوهَآۗ
Artinya: “Dan
jika kamu menghitung nikmat Allah,
tidaklah dapat kamu menghinggakannya”.
7.
‘Amr (perintah) dengan bentuk jamak (plural), seperti
firman Allah dalam surat al-Baqarah: 43.
وَأَقِيمُواْ
ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ
٤٣
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku´lah
beserta orang-orang yang ruku´”.[5]
C.
Macam-macam ‘Amm
‘Amm terbagi atas tiga macam, yaitu:
1.
‘Amm yang tetap dalam keumumannya (al-‘amm al-baqi ‘ala ‘umumih)
Qadi
Jalaluddin al-Balqini mengatakan, ‘amm seperti ini jarang ditemukan, sebab
tidak ada satupun lafadz ‘amm kecuali di dalamnya terdapat takhsis (pengkhususan). Tetapi Zarkasyi mengatakan, ‘amm demikian banyak terdapat al-Qur’an. Ia
mengajukan beberapa contoh, antara lain:
وَٱللَّهُ
بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمُۢ ١٧٦
Artinya: “Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. An-Nisa: 176)
وَلَا
يَظۡلِمُ رَبُّكَ أَحَدٗا ٤٩
Artinya: “Dan
Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun".
(QS. Al-Kahfi: 49)
حُرِّمَتۡ
عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ
Artinya: “Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu”.
(QS. An-Nisa: 23)
2.
‘Amm yang dimaksud khusus (al-‘amm al-murad bihi al-khusus)
Misalnya firman Allah dalam
surat Ali Imran: 39.
فَنَادَتۡهُ
ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَهُوَ قَآئِمٞ يُصَلِّي فِي ٱلۡمِحۡرَابِ ...
Artinya:
“Kemudian Malaikat memanggil
Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab”.
Yang memanggil Zakariya di sini adalah Malaikat
Jibril.[6]
3.
‘Am yang mendapat pengkhususan (al-‘ammu al-Makhshushu)
Contohnya seperti firman Allah dalam surat Ali Imran:
97.
وَلِلَّهِ
عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ
Manusia pada nash ini adalah umum. Dimaksud dengannya
itu khusus para mukallaf. Menurut akal tidak termasuk anak-anak dan orang gila.
Contoh lain, firman Allah dalam surat At-Taubah: 120.
مَا
كَانَ لِأَهۡلِ ٱلۡمَدِينَةِ وَمَنۡ حَوۡلَهُم مِّنَ ٱلۡأَعۡرَابِ
أَن يَتَخَلَّفُواْ عَن رَّسُولِ ٱللَّهِ ...
Artinya: “Tidaklah
sepatutnya bagi penduduk Madinah dan
orang-orang Arab Badui yang berdiam
di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang)”.
Penduduk Madinah dan
orang-orang Arab Badui yang tersebut dalam nash ini adalah lafadz ‘am. Kedua
lafadz ini khusus orang yang berkuasa yaitu orang yang memiliki kesanggupan
berjihad bersama Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa Salam. ‘Am di sini maksudnya khusus dan tidak mengandung
unsur-unsur umum.[8]
D.
Perbedaan
Antara Lafazh Umum yang Bermakna Khusus dengan Lafazh Umum yang Dikhususkan
Perbedaan antara
lafazh umum yang bermakna khusus (al-‘am
al-murod bihil khushush) dengan lafazh umum yang dikhususkan (al-‘am al-makhshush) dapat dilihat dari
berbagai sisi, antara lain:
1.
Yang pertama (al-‘am al-murod bihil khushush), tidak dimaksudkan untuk mencakup
semua satuan atau individu yang dicakupnya sejak semula, baik dari segi cakupan
makna lafazh maupun dari hukumnya. Sedang yang kedua dimaksudkan untuk menunjukkan makna umum, meliputi semua
individunya, dari segi cakupan makna lafazh, tidak dari segi hukumnya. Maka
lafazh “an-nas” dalam firman Allah, “alladzina qala lahum an-nas,” meskipun
bermakna umum tetapi yang dimaksud oleh lafazh dan hukumnya adalah hanya satu
orang. Adapun lafazh “an-nas” dalam
ayat “Wa lillahi ‘alan-nasi hijjul baiti,”
maka ia adalah lafazh umum tetapi yang dimaksud adalah semua individu yang bisa
dicakup oleh lafazh. Meskipun kewajiban haji hanya meliputi orang yang mampu
saja di antara mereka secara khusus.
2.
Yang pertama (al’am al-murad bihil khushush) dapat dipastikan mengandung majaz, karena ia telah beralih dari
makna aslinya dan dipergunakan untuk sebagian satuan-satuannya saja. Sedang
yang kedua, menurut pendapat yang
lebih shahih adalah hakikat.
3.
Qarinah
(ciri)
bagi yang pertama pada umumnya
bersifat rasional (‘aqliyah) dan
tidak pernah terpisah, sedang ciri bagi yang kedua bersifat hanya lafzhiyah
dan terkadang terpisah.[9]
Pendapat
lain mengatakan bahwa, perbedaan antara lafadz ‘am yang dimaksud khsusus dengan
lafadz ‘am yang dikhususkan yaitu:
1.
Lafadz ‘am yang
maksdunya khusus adalah yang dimaksud dari lafadz itu sedikit, sedangkan yang
tidak dimaksud afrad (satuan pengertian) nya lebih banyak.
2.
Lafadz ‘am yang
dikkhususkan yaitu apa yang dikehendaki dari lafadz itu afrad-nya lebih
banyak, dan apa yang tidak dimaksud afrad-nya lebih sedikit.[10]
E.
Khash
Khash
adalah
lafazh yang tidak dapat digunakan mengikutsertakan banyak satuannya. Firman
Allah yang menetapkan masa tunggu wanita yang hamil sampai dengan kelahiran
anaknya, merupakan lafazh yang khusus untuk wanita yang demikian itu halnya, tidak
mencakup selainnya.[11]
Upaya pengkhususan disebut takhshish
dan sesuatu yang mengkhususkan dinamakan dengan al-mukhashshish. Mukhashshish terbagi menjadi dua, yaitu pertama, mukhashshish
yang tidak dapat berdiri sendiri dan maknanya berhubungan dengan sebelumnya,
disebut dengan muttashil
(bersambung). Mukhtashshish muttasil terbagi dalam lima macam:
1.
Istitsna
(pengecualian)
Contohnya,
firman Allah dalam surat an-Nur: 4-5
وَٱلَّذِينَ
يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ
ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ
هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٤ إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ ...
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah
kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka itulah orang-orang
yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat ...”.
Perhatikanlah
kalimat illal ladzina tabu pada ayat
tersebut. Kalimat itu merupakan sambungan dari kalimat sebelumnya dan sekaligus
menjadi pengkhusus dengan bentuk pengecualian.
2.
Shifat (sifat)
Contohnya pada firman Allah dalam
surat an-Nisa: 23:
...
وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم
بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ ...
Artinya: “(Diharamkan atas kamu mengawini) anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri.”
Kalimat al-lati dakhaltum bihinna, merupakan sifat terhadap nisa’ikum. Dengan demikian, maka makna
ayat tersebut bahwasannya perempuan-perempuan yang menjadi anak tiri dan menjadi
pemeliharaan dari seorang laki-laki (bapak tiri) adalah haram dikawini oleh
bapak tirinya itu, jika ibu dari perempuan-perempuan itu telah dicampuri, tapi
bila belum dicampuri, maka perempuan itu halal dikawini olehnya.
3.
Syarth (syarat)
Contohnya pada firman Allah dalam
surat al-Baqarah: 180:
كُتِبَ
عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ
لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.”
Kalimat in taraka khairan (jika meninggalkan harta yang banyak) adalah
merupakan syarat dalam wasiat yang dimaksud.
4.
Ghayah (batas)
Contohnya pada firman Allah dalam
surat al-Baqarah: 196:
...
وَلَا تَحۡلِقُواْ رُءُوسَكُمۡ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ ٱلۡهَدۡيُ مَحِلَّهُۥ...
Artinya: “Dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat
penyembelihannya.”
Kalimat hatta yublighal hadyu mahillahu merupakan batas awal bagi
pelaksanaan ibadah mencukur rambut.
5.
Badalul
ba’dhi minal kulli (mengganti sebagian dari keseluruhannya)
Contohnya pada firman Allah dalam
surat Ali ‘Imran: 97:
...
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗا ...
Artinya: “Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan kepadanya (Baitullah)”
Lafadz من adalah pengganti (badal) dari
lafadz الناس
(manusia)
yang disebutkan sebelumnya. Potongan pertama ayat mengandung arti “semua
manusia” harus menunaikan haji. Kemudian manusia yang dikenai kewajiban haji
itu dijelaskan yaitu “orang-orang yang mempunyai kesanggupan”; sehingga dengan
adanya takhsish ini berarti orang-orang yang tidak mempunyai
kesanggupan tidak termasuk dalam pengertian ‘am yang dikenai kewajiban haji.[12]
Kedua, mukhtashshish yang berada di
tempat lain, disebut munfashil (terpisah)[13].
Bentuk mukhtashshish munfasil bermacam-macam, yaitu:
1.
Yang di-takhshish oleh al-Qur’an, contoh:
a.
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ
يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖ...
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'...” (QS. al-Baqarah: 228)
Ayat ini di-takhshish oleh ayat:
... إِذَا نَكَحۡتُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ
ثُمَّ طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمۡ عَلَيۡهِنَّ
مِنۡ عِدَّةٖ تَعۡتَدُّونَهَا ...
Artinya: “... apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman,
Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali
tidak wajib atas mereka 'iddah ...” (QS. al-Ahzab: 49)
Dan di-takhshish oleh ayat:
... وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ
حَمۡلَهُنَّ ...
Artinya: “... dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya...” (QS. ath-Thalaq: 4)
b.
حُرِّمَتۡ
عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ ...
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah...”. (QS. al-Maidah: 3)
Keharaman memakan bangkai di atas
di-takhshish oleh bangkai ikan pada
ayat:
أُحِلَّ
لَكُمۡ صَيۡدُ ٱلۡبَحۡرِ وَطَعَامُهُۥ مَتَٰعٗا لَّكُمۡ وَلِلسَّيَّارَةِ ...
Artinya: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari
laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam
perjalanan...”. (QS. al-Maidah: 96)
Sedangkan keharaman memakan darah
di-takhshish oleh darah yang keras
(hati) pada ayat:
...
أَوۡ دَمٗا مَّسۡفُوحًا ...
Artinya: “... atau darah yang mengalir ...”. (QS. al-An’am: 145)
c.
...
وَءَاتَيۡتُمۡ إِحۡدَىٰهُنَّ قِنطَارٗا فَلَا تَأۡخُذُواْ مِنۡهُ شَيًۡٔا ...
Artinya: “... sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka
harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikitpun...”. (QS. an-Nisa: 20)
Ayat ini di-takhshish oleh ayat:
...
فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَا فِيمَا ٱفۡتَدَتۡ بِهِۦ ...
Artinya: “... Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh isteri untuk menebus dirinya...”. (QS. al-Baqarah: 229)
d. ٱلزَّانِيَةُ
وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ ...
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera...”. (QS. an-Nur: 2)
Ayat ini di-takhshish oleh ayat:
...
فَإِذَآ أُحۡصِنَّ فَإِنۡ أَتَيۡنَ بِفَٰحِشَةٖ فَعَلَيۡهِنَّ نِصۡفُ مَا عَلَى ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ
مِنَ ٱلۡعَذَابِ ...
Artinya: “...maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka
yang bersuami...”. (QS. an-Nisa: 25 ...فَٱنكِحُواْ
مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ...
Artinya: “... maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ...”. (QS.
an-Nisa: 3)
2.
Yang di-takhshish oleh hadis, contoh:
a.
... وَأَحَلَّ
ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ...
Artinya: “... padahal Allah telah menghalalkan jual beli ...”. (QS.
al-Baqarah: 275)
Ayat ini di-takhshish oleh macam-macam jual beli yang rusak yang banyak
dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi.
b.
... وَحَرَّمَ
ٱلرِّبَوٰاْ...
Artinya: “...dan mengharamkan riba...”. (QS. al-Baqarah : 275)
Ayat ini di-takhshish oleh pinjaman-pinjaman tak berbunga yang telah dijelaskan
oleh hadis.
c.
Ayat-ayat
tentang saling memberi dan menerima warisan di-takhshish oleh pembunuh dan perbedaan agama sebagaimana dijelaskan
oleh hadis.
d.
Keharaman
bangkai di-takhshish oleh bangkai
belalang yang telah dijelaskan oleh hadis
e.
Ayat tentang
“tiga quru” di-takhshish oleh di
antaranya ketentuan iddah bagi wanita hamba sahaya (al-amat)
f.
Air yang suci
pada surat al-Furqan: 48 di-takhshish oleh
air yang berubah (baik warna, bau, atau rasa) yang telah dijelaskan oleh hadis.
g.
Ketentuan hukum
potong tangan bagi pencuri di-takhshish oleh
pencuri yang mengambil harta yang bernilai di bawah seperempat dinar.
3.
Yang di-takhshish oleh ijma’, seperti ayat
mawarits di-takhshish oleh ketentuan
ijma’ bahwa seorang hamba sahaya tidak dapat menerima warisan, sebagaimana yang
telah diutarakan oleh Makkiyyun.
4.
Yang di-takhshish oleh qiyas, seperti ayat tentang
perzinaan:
ٱلزَّانِيَةُ
وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖ ...
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera...”. (QS. an-Nur: 2)
Hamba sahaya pria diberi kekhususan
karena diqiyaskan pada hamba sahaya wanita yang dijelaskan oleh ayat:
... فَعَلَيۡهِنَّ
نِصۡفُ مَا عَلَى ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ مِنَ ٱلۡعَذَابِ ...
Artinya: “...maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka
yang bersuami...”. (QS. an-Nisa: 25)
Keterangan ini juga disampaikan
oleh Makkiyyun.[14]
5.
Akal
(mentakhshshish al-Kitab dengan akal)
Contohnya pada firman Allah dalam
surat ar-Ra’du: 16:
... ٱللَّهُ
خَٰلِقُ كُلِّ شَيۡءٖ ...
Artinya: “Allah adalah pencipta segala sesuatu.”
Akal kita menetapkan bahwa Dia
bukan Pencipta bagi Dzat-Nya sendiri. Mentakhshish dengan akal ini bukanlah
berarti memenangkan dalil akal daripada dalil syar’i tetapi merupakan upaya
mengkompromikan keduanya, dikarenakan tidak adanya kemungkinan untuk
menggunakan dalil syara’ tadi menurut keumumannya lantaran adanya pencegah yang
mutlak (mani’un qath’iyyun), yakni
logika.
6.
Indera
Apabila datang dalil syara’ dengan
bersifat umum, sementara menurut indera bahwa yang dimaksud dengan umum itu
adalah sebagian satuannya, maka indera tersebut telah berfungsi sebagai
mukhashshish (pengkhusus) terhadap keumuman itu. Contohnya pada firman Allah
dalam surat an-Naml: 23:
إِنِّي
وَجَدتُّ ٱمۡرَأَةٗ تَمۡلِكُهُمۡ وَأُوتِيَتۡ مِن كُلِّ شَيۡءٖ وَلَهَا عَرۡشٌ
عَظِيمٞ
Artinya: “Sesungguhnya Aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan
dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.”
Di dalam ayat di atas, dilukiskan
bahwa wanita tersebut dianugerahi segala sesuatu, tetapi indera kita menetapkan
bahwa wanita itu tidak diberi segala sesuatu yang menjadi milik Nabi Sulaiman
as.
7.
Siyaq
Siyaq
adalah keterangan yang mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya.
Contohnya pada firman Allah dalam surat al-A’raf: 163:
وَسَۡٔلۡهُمۡ
عَنِ ٱلۡقَرۡيَةِ ٱلَّتِي كَانَتۡ حَاضِرَةَ ٱلۡبَحۡرِ ...
Artinya: “Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di
dekat laut ?”
Dalam ayat tersebut dilukiskan
bahwa yang dipertanyakan adalah tentang keadaan desa. Menurut siyaqul kalam
bahwa yang dimaksudkan dengan desa itu adalah penduduknya.[15]
F.
Mekanisme
Ke-khushush-an
Jika mekanisme
keumuman didasarkan pada beberapa perangkat kebahasaan maka masih terdapat
beberapa perangkat kebahasaan lain yang dapat mengalihkan yang umum menjadi
yang khusus, makna umum teks menjadi khusus. “ke-khushush-an” secara
bahasa terangkum dalam salah satu dari dua hal, seperti yang dikatakan oleh
ahli fiqh: pertama, kata dengan
format umum, namun maknanya tidak mencakup semua bagian yang ditunjukkan kata
tersebut, tetapi maknanya khusus. Kedua, kata
yang menurut bentuk dan maknanya ‘amm,
tetapi hukum (pesan) yang ada dalam teks tidak tepat diterapkan pada acuannya
(kata tersebut).[16]
Bentuk-bentuk lafadz khusus terbagi menjadi empat,
yaitu:
1.
Isim ‘alam, baik manusia seperti, Muhammad, Nuh, atau
nama bagi benda seperti tuffahah,
misymisy, nama bagi buah yang terkenal, seperti buah zaitun, buah tin, dan
lain sebagainya.
2.
Isim yang di ma’rifatkan dengan al lil ‘ahdi, seperti perkataan ja-a
ar-rajuulu, dan kita maksudkan terhadap seorang lelaki tertentu yang
diketahui antara kita dan diantara orang yang diajak bicara.
3.
Menentukan isim dengan menunjuknya, seperti perkataan dzalika, al-qadim, atau hadza al-jalisu.
4.
Bilangan yang dibatasi, meskipun lebih banyak dari
dua, seperti tsalatsun atau khamsun.[17]
[1] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013) h. 179.
[2] Manna’
Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an,
diterjemahkan
oleh Mudzakir AS (Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa, 2011)
h. 312.
[3] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 179-181.
[4] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap
Ulumul Qur’an, diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta, 2005) h. 248-250.
[5] Miftah Faridl dan Agus
Syihabudin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam
yang Pertama (Bandung:
Pustaka, 1989) h. 175-178.
[6] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, diterjemahkan
Mifdhol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005) h.
317.
[8] Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, diterjemahkan oleh
Halimuddin (Jakarta: Rineka Cipta, 2005) h. 232.
[9] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi, h. 277-278.
[10] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta:
Kencana, 2009) h. 85-86
[11] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 183
[12] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
h. 98
[13] Miftah Faridl dan Agus
Syihabudin, Al-Qur’an Sumber, h. 179-182.
[14]Muhammad bin Alawi Al-Maliki
Al-Husni, Mutiara Ilmu-ilmu al-Qur’an, diterjemahkan
oleh Rosihon Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 1999) h. 182-188.
[15] Miftah Faridl dan Agus
Syihabudin, Al-Qur’an Sumber ,h.
184-185
[16] Ibid’, h. 258
[17] ‘Atha bin
Khalil, Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh
Yasin as-Siba’i (Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah, 2003)
h.297.